Istilah Kata-Kata Dalam Bahasa Tasawuf Bag-1, 2, 3 - Kesra Sitirejo

Breaking

SITIREJO

Jadwal Sholat

Post Top Ad

 


Friday, November 29, 2019

Istilah Kata-Kata Dalam Bahasa Tasawuf Bag-1, 2, 3



1. W A K T U

Esensi waktu (al-Waqt). Menurut penelaah ahli hakikat, adalah suatu peristiwa yang terbayangkan, yang hasilnya dikaitkan pada peristiwa yang terjadi. Peristiwa yang terjadi merupakan waktu bagi peristiwa yang dibayangkan (akan datang). Seperti kalimat, “Anda di datangi awal bulan”, maka, “kedatangan” merupakan sesuatu yang terbayang. Sedangkan awal bulan adalah sesuatu yang terjadi nyata. Awal bulan berarti waktu bagi kedatangan.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra. Berkata : “Waktu adalah sesuatu yang Anda berada di dalamnya. Kala Anda di dunia, maka waktu Anda adalah dunia. Bila di akhirat, maka waktu Anda adalah akhirat. Ketika Anda senang, itulah waktu Anda. Kalau Anda susah, susah itulah waktu Anda.” Maksud Syeikh tadi, waktu memiliki definini yang umum bagi manusia.
Ada kala waktu diartikan sebagai zaman. Ada kalangan yang mengatakan, waktu merupakan sesuatu antara dua zaman. Yang lampau dan yang akan datang.
Mereka juga mengatakan, bahwa orang Sufi merupakan anak sang waktu. Kalimat tersebut dimaksudkan, bahwa sang Sufi disibukkan dengan priorotas utama yang harus dikerjakan ketika itu, mandiri terhadap perolehan seketika.
Dikatakan : “Orang fakir tidak mementingkan apa yang telah lewat dan yang akan tiba dalam waktunya, tapi lebih mementingkan apa yang ada pada saat itu.” Dikatakan : “Menyibukkan terhadap waktu yang berlalu, berarti menelantarkan waktu berikutnya.”
Terakdang mereka bermaksud mendefinisikan waktu sebagai sesuatu yang dilakukan ooleh Al-Haq kepada mereka tanpa adanya pilihan bagi mereka. Mereka mengatakan ( si Fulan dengan hukum waktu). Yakni : Fulan menyerahkan diri kepada yang tampak dari yang ghaib tanpa usahanya sendiri. Yaitu dalam hal yang tidak masuk kategori perintah Allah swt, atau terapan menurut hukun syariat. Karena adanya penelantaran terhadadap apa yang diperintah dan merekayasa dalam waktu untuk mengalahkan takdir, di samping meninggalkan kepedulian terhadap sesuatu yagn Anda hasilkan melalui penyimpangan, berarti keluar dari agama.
Mereka berkata : “Waktu adalah pedang”. Sebagaimana fungsi pedang itu sendiri untuk memotong. Maka waktu, disebabkan oleh kebenaran yang berlalu, yang memenangkan kebenaran, akan melewatinya.
Dikatakan : “Pedang sangat halus sentuhannya, namun tajam sayatannya. Barangsiapa menghindarinya (berkelit) akan selamat dan barangsiapa bertindak kasar akan tertebas olehnya. Begitu juga waktu, siapa yang mencurahkan pada hukum waktu akan selamat, dan barangsiapa menentangnya akan tertebas dan jatuh dalam kehancuran.”
Seperti dalam bait ini :
Dan seperti pedang..
Jika tak mencegahnya untuk menyentuh
Tajamnya, kalau mengasari tergoreslah.
Barangsiapa ditolong sang waktu, maka waktu hanya baginya. Dan barangsiapa menentangnya, sang waktu pun akan marah ke padanya.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Waktu adalah pembubut yang akan menggilasmu, namun tidak melenyapkanmu. Yakni, jika melenyapkan dan menyirnakanmu, pasti bersih ketika dirimu sirna. Akan tetapi waktu mengambilmu, tanpa melenyapkanmu sama sekali.”
Sang Syeikh bersyair :
Setiap hari ia lewat meraih tanganku..
Memberikan penyesalan dalam hatiku..
Kemudian... ia berlalu..
Dalam syair pula :
Seperti penghuni neraka
Jika kulit-kulitnya terpanggang matang..
Kembali pula kulit itu,
Bagi suatu penderitaan.
Dikatakan :
Bukanlah orang mati itu
Orang istirahat sebagai mayit.
Tetapi orang mati itu
Kematian hidupnya.
Orang cerdas adalah orang yang berada dalam hukum waktunya. Apabila waktunya adalah sadar dalam Ilahi (ash-shahw), maka ia tegak mandiri dengan syari’at. Apabila waktunya adalah sirna dalam Ilahi, yang kompeten adalah hukum-hukum hakikat.

2. M A Q A M

Maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam wushul kepada-Nya dengan macam upaya, di-wujud-kan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Masing-masing berada dalam tahapannya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah laku riyadhah menuju ke pada-Nya.
Syaratnya, seorang hamba tidak akan menaiki dari satu maqam ke maqam lainnya sebelum terpenuhi hukum-hukum maqam tersebut. Barangsiapa yang belum sepeuhnya qana’ah, belum bisa mencapai tahap tawakkal. Dan siapa yang belum bisa tawakal tidak sah bertaslim. Siapa yang tidak bertobat, tidak sah pula ber inabat, dan barang siapa tidak wara’ tidak sah untuk ber zuhud.
Al-Maqam berarti iqamah, sebagaimana kata al-madkhal berarti idkhaal, dan al-makhraj berarti al-ikhraaj. Tidak seorang pun sah menahapi suatu maqam, kecuali dengan penyaksian terhadap kedudukan Allah swt. terhadap dirinya dengan maqam tersebut, yang dengannya strutur bangunan ruhaninya benar menurut pondasi yang shahih.
Saya mendangar Abu ali- al-Daqqaq r.a. berkata : “Ketika al-Wasithy masuk ke Naisabur, bertanyalah ia kepada santri Abu Utsman, : “Apa yang diperintahkan Syeikh kalian kepada kalian? Mereka menjawab : “Kami diperintah untuk menetapi taat serta melihat dan meneliti penyimpangan di dalamnya.” Maka al-Wasithy  berkata, “Syeikh kalian memerintah dengan cara Majusi murni? Apakah Syeikh kalian tidak memerintah diri kalian dengan hal yang gaib dengan memandang ke pada Yang Memunculkan dan Menjalankan yang gaib? Maksud al- Wasithy dengan kta-kta itu, agar mereka menjaga diri dari posisi takjub. Bukannya menaiki ke arah wilayah penyimpangan atau keteledoran (taqshir), karena yang demikian bisa merusakkan adanya cacat dalam adab.

3. H A A L

Al-Haal (kondisi ruhani) menurut banyak orang merupakan arti yag intuitif dalam hati; tanpa adanya unsur sengaja, usaha menarik, dan usaha lainnya, dari rasa senang atau sedih, leluasa atau tergenggam, rindu atau berontak, rasa takut atau suka cinta, maka setiap al-Haal merupakan karunia. Dan stiap Maqam adalah upaya. Pada al-Haal datang dari Wujud itu sendiri, sedang al-Maqam diperoleh melalui upaya perjuangan. Orang yang memiliki Maqam, menempati maqamnya, dan orang yang berada dalam Haal, bebas dari kondisinya.
Dzunnun al-Mishri ditanya tentang Al-‘Arif. Dia menjawab, Al-‘arif itu ada disini, lalu dia pergi.
Salah seorang guru berkata : “Beberapa al-Haal seperti kilatan kalau menetap, itu sekedar omongan nafsu.”
Mereka berkata : “Al-Haal sebagaimana namanya, yakni al-Haal seperti ketika menempati dalam kalbu, kemudian hilang.
Kalau tidak menempati, pasti tidak dinamakan haal.
Dan setiap yang menempati, pastilah hilang,
Lihatlah pada bayangan ketika sampai ujungnya
Berkuranglah ketika ia memanjang
Beberpa kalangan mengisyaratkan abadinya al-Haal. Mereka berkata : “Sebenarnya jika al-Haal tidak abadi dan tidak terdelegasi, itu hanyalah kilatan belaka. Pelakunya tidak sampai pada al-Haal yang sebenarnya. Apabila predikat tersebut menetap terus, dinamkan al-Haal.”
Di sinilah Abu Utsman al-Hiry berkata “Aku tidak pernah benci terhadap maqam yang telah diberikan Allah swt. Kepadaku.”  Ia mengisyaratkan ketetapan abadinya dalam ridha. Dan ridha merupakan bagian dari al-Haal.
Seharusnya dikatakan : Orang yang mengisyaratkan abadinya al-Haal, maka apa yang dikatakannya benar. Terkadang al-Haal berarti bagian dari seseorang kemudian terpelihara di dalamnya. Tetapi yang memiliki al-Haal ini memiliki beberapa ihwal, yaitu jalan-jalan yang tak menetap di atas ihwal-ihwalnya yang menjadi bagiannya. Bila jalan-jalan yang ditempuh menetap secara konsisten, seperti menetapnya ihwal-ihwal tersebut, ia naik ke ihwal lain yang lebih lembut. Dan begitu selanjutnya, naik ke tahap seterusnya.

Selengkapnya silahkan baca disini

            Bersambung .....................

1 comment:

Post Top Ad

NU Peduli Program Sejuta Masker Cegah Corona