4. QABDH DAN BASTH
Kedua istilah
ini merupakan kondisi ruhani setelah seseorang hamba menahapi tingkah laku
al-Khauf dan ar-Raja’. Al-Qabdh di mata seorang arif sama kedudukannya dengan
tahap al-Khauf di mata pemula. Sedangkan al-Basth, setara kedudukannya dengan
a-Raja’ di mana pemula yang mencari jalan kepada Allah swt.
Perbedaan
antara Qabdh, Khauf, Basth dan Raja’
Al-Khauf :
Muncul dari sesuatu di masa depan, terkadang takut kehilangan sang kekasih,
atau datangnya sesuatu yang ditakuti.
Ar-Raja’ :
Membayangkan sang kekasih di masa depan atau sesuatu yang ditampakkan akan
hilangnya yang ditakuti, serta yang dibenci, bagi mereka yang pemula (dalam dunia
Sufi).
Al-Qabdh :
Tahap ruhani yang maknanya yang dihasilkan dalam waktu seketika, begitu juga
al-Basth.
Orang yang
mempunyia khauf dan raja’, hatinya bergantung dalam dua kondisi
waktu di depannya. Sedangkan yang memiliki qabdh dan basth, waktunya diambil
oleh yang mengalahkan dalam kekinian. Hanya saja predikatnya terpaut dalam
qabdh dab bats menurut keterpaduan ihwal mereka. Dari segi yang datang, qabdh
menjadi keharusan, namun menetapi sesuatu yang lain, karena tak terpenuhi. Dan
ddari segi yang tergenggam (al-maqbudh), tidak ada jalan selain dominsai
pendatang di dalam dirinya. Karena diambil secara keseluruhan dari pihak
pendatang tersebut.
Demikian pula
yang dileluasakan (al-mabsuth), Kadang-kadang di dalamnya ada basth
yang membuat sang makhluk menjadi luas, sehingga tidak takut terhadap segala
hal. Ia menjadi mambsuth, tiada sesuatu pun berpengaruh di dalamnya, dari
satu ihwal ke ihwal lain.
Saya mendengar
Abu ali al-Daqqaq r.a. berkata : “Sebagian orang memasuki tempat Abu Bakr
al-Qihthy. Di sana ada seorarng anak sedang bermain sebagaimana permainan
anak-anak muda lainnya (yang bisa merusak hatinya). Orang-orang itu melewati
tempat anak tersebut, dan tampaknya ia tenggelam dalam permainan dengan
teman-temannya. Mereka merasa ibi kepada al-Qihthy, serayaa berkata, ‘Kasihan
Syeikh, bagaimana digoda oleh anak-anak jelek itu? Ketika mereka memasuki rumah
al-Qihthy, ia menemuinya seakan-akan tak ada berita sedikit pun soal
mainan-mainan itu, lalu mereka pun heran. Mereka berkata. ‘Anda menebus orang
yang tidak dapat dipengaruhi puncak-puncak bukit?’ Al-Qihthy menjawab :
“Sesungguhnya kami telah dibebaskan dari belenggu segala hal dalam azali.”
(artinya, ia telah tenggelam dalam keparipurnaan ubudiyah kepada Allah swt.
sehingga tidak ada yang berpengaruh selain Allah swt.).
Kewajiban
terendah dalam qabdh, adanya subyek dalam hatinya yang mengharuskan bentuk
isyarat cacat pada diri, atau adanya rumus yang di dalamnya seseorang berhak
untuk bersopan santun (adab), sehingga dalam kalbunya mendapatkan qabdh.
Terkadang yang
datang dalam kalbunya merupakan isyarat untuk mendekat, atau yang diterima
merupakan kelembutan dan ketentraman, sehingga kalbu mendapatkan basth. Secara
global, wabdh masing-masing pelaku tergantung kualitas basth-nya, begitu juga
basth-nya diukur menurut qabdh-nya.
Terkadang sebab
musabab qabdh menimbulkan musykil bagi pelakunya. Dalam kalbunya ditemukan
qabdh yang tidak dimengerti apa keharusan dan sebabnya. Keharusan yang dijalani
pelaku seperti ini alah taslim, sehingga waktu seperti itu berlalu. Sebab jika
dicari, justru akan menghalanginya. Atau ia menghadap waktu sebelum jatuh
padanya, lewat ikhtiarnya, sehingga berharap wabdh-nya bertambah. Barangkali
hal itu tergolong su’ul adab. Jika menyerahkan diri pada hukum waktu, maka dari
dekat akan menghilangkan al-qabdh. Sesungguhnya Allah swt. berfirman :
“Dan
sesungguhnya Allah menyempitkan dan melapangkan, dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan,” (Qs. Al-Baqarah : 245).
Terkadang basth
datang seketika, tanpa si pelaku tahu sebabnya, sehingga ia pun terkejut. Jalan
yang harus ditempuh, jika demikian, ia harus tenang dn menjaga adab. Pada waktu
itu, ia sedang mengalami bisikan yang besar. Karena itu, si pelaku harus
menghindari makar yang samar di daamnya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh
sebagian Sufi, “Telah dibuka padaku, pintu basth, kemudian diriku terguncang
hebat, lantas aku pun tertutup dari maqamku.” Karenanya berkatalah mereka,
“Bertetaplah apda kelapangan (al-bisath) dan hati-hatilah, berupaya
melapangkan.”
Ada ahli
hakikat (tahqiq) mengategorikan perilaku qabdh dan basth tergolong sesuatu yang
mereka mohonkan perlindungan. Karena keduanya disandarkan pada yang diatasnya
berupa tahap kehancuran hamba, sedangkan upaya hamba memasukinya dalam dunia
hakikat dapat melahirkan fakir dan bahaya.
Al-Junayd
berkta : “Al-Khauf dari Allah membuatku tergenggam, Dan ar-Raja’ dari Allah
membuatku lapang. Hakikat telah mengumpulkan diriku. Dan Al-Haq memisahkanku.
Apabila Dia membuatku tergenggam adalah khauf, Dia menjadikan diriku fana’ dari
diriku. Apabila ar-Raja’ melapangkanku, Dia mengembalikan kepadaku. Apabila
diriku terintegrasi hakikat, maka Dia menghadirkanku. Apabila aku dipisahkan
Al-Haq, aku disaksikan oleh selain diriku, kemudian menutupiku, Allah swt.
dalam semua hal itu adalah penggerakku tanpa mengekangku, Dia yang membuatku
takut tanpa genmbiraku. Aku dengan kehadiranku, merasakan rasa wujud-ku.
Fana’ku datang dari diriku, membuatku nikmat, atau mengabaikan dariku, sehingga
aku ringan.
5. HAIBAH DAN UNS
Rasa takut
sisertai rasa hormat luar biasa (haibah) dan sukacita jiwa (uns) merupakan
tahap dari derajat-derajat dalam al-qabdh dan al-basth. Kalau qabdh berada di
atas tingkatan khauf, dan basth di atas tingkatan raja’, maka haibah lebih
tinggi dariapda qabdh, kemudian uns lebih sempurna daripada basth. (Maksudnya,
Uns lebih tinggi tahapannya. Sebab haibah muncul dari Qabdh, yang bermula dari
Khauf. Sedang Uns muncul dari Raja’. Karena orang yang takut kepada Allah swt,
melihat kekurangan dirinya di hadapan Allah, hatinya akan terganggu oleh-Nya,
dan yang tersisa hanyalah sibuk dengan Allah, sehingga muncullah Haibah. Siapa
yang wushul-nya terus menerus, hatinya akan lapang dan mendapatkan uns. Catatan
Kaki).
Hak haibah
adalah kegaiban. Setiap pelaku haibah senantiasa lebur dalam kegaiban.
Orang-orang yang berada dalam gaib frekuensinya berbeda dalam haibah menurut
penjelasan mereka dalam kegaiban.
Sedangkan hak
uns adalah pencerahan dalam kebenaran. Orang yang melakukan uns, berarti cerah
jiwanya. Kemudian frekuensinya berbeda menurut penjelasannya dalam bagian
“minuman jiwa”. Mereka berkata : “Tempat terendah dalam al-uns adalah jika
seseorang dilempar ke dalam neraka Jahanam, sama sekali sukacitanya tidak
terpengaruh.”
Al-Junayd
berkata : “Aku mendengar batinku berkata : “Seorang hamba bisa ssampai pada
suatu batas seandainya wajahnya tertebas pedang, sama sekali tidak
merasakannya.” Sedangkan dalam hatiku ada sesuatu, hingga tampak jelas bahwa
persoalannya sampai sedemikian itu.”
Diriwayatkan
dari Ahmad bin Maqatil al-Ikky, ia berkata : “Aku memasuki tempat asy-Syibly,
sedangkan beliau tengah mencabut helai bulu alisnya dengan sebuah penjepit. Aku
katakan kepadanya; “Wahai tuanku, Anda berbuat demikian apda diri sendiri,
sementara rasa pedihnya kembali pada hatiku.’ Ia menjawab : “Celaka Anda!
Hakikat itu tampak padaku, dan aku tidak kuat memikulnya. Maka beginilah, aku
memasuki kepedihan atas diriku, siapa tahu aku merasakannya, lalu tertutup
dariku. Aku tak menemukan kepedihan itu. Dan tidak tertutup dariku, sedangkan
kepedihan itu membuatku tidak tahan.”
Kondisi haibah
dan uns, walaupun masing-masing tampak jelas, bagi ahli hakikat masih
dikategorikan kurang, karena keduanya mengandung perubahan pada diri hamba.
Sedangkan yang tidak berubah, dinamakan ahli tamkin. Mereka hangus dalam
wujud nyata. Tidak ada haibah dan tidak pula uns, tidak ilmu maupun rasa.
Cerita ini
dikenal dari Abu Sa’id al-Kharraz : “Suatu saat di kampung, aku berkata :
Aku datang,
maka aku tak mengerti
Dari mana,
siapa aku,
Kecuali apa
yang dikatakan manusia
Pada diriku dan
dalam jenisku,
Aku datangi jin
dan manusia
Jika tak
kutemui seorang pun,
Aku datangi
diriku.
Kemudian ada
bisikan lembut menyusup ke dalam kalbuku :
Amboi, siapa
yang tahu sebab-sebab
Yang lebih
luhur wujud-nya,
Lalu ia
bersukaria dengan kesesatan yang hina
Dan dengan
manusia
Kalau engkau
dari ahli wujd yang hakiki
Pastilah engkau
gaib dari Jagad, Arasy dan Kursy
Sedang engkau
tanpa kondisi ruhani bersama Allah
Jauh dari
mengingat
Pada jin dan
manusia.
6. TAWAJUD, WUJD DAN WUJUD
Tawajud adalah
upaya memohon ekstase ruhani (wujd), melalui salah satu ragam ikhtiar. Orang
yang memiliki tawajud tidak dapat dkategorikan sempurna wujd-nya. Sebab, kalau
ia sempurna, pasti disebut wajid.
Dalam bab wazan
Tafa’ul lebih banyak menampakkan sifat. Padahal bukan demikian, seperti dalam
syair :
Bila kelompak
mata menjadi sempit;
Dan padaku
tiada lagi sulit membuka
Lalu kurobek
mata, tanpa cela.
Ada pandangan
yang mengatakan, “Tawajud tidak terpasrahkan kepada pemangkunya karena adanya
beban dan masih jauh dari tahqiq.”
Ada pula yang
mengatakan : “Tawajud diserahkan kepada para fakir yang secara internal
mengintai untuk menemukan makna-makna tersebut.”
Hakikat yang
bisa dikenal, muncul dari kisah Abu Muhammad al-Jurairy, r.a. bahwa ia berkata
: “Ketika aku di sisi al-Junayd, di sana da Ibnu Masruq. Tiba-tiba Ibnu Masruq
dan yang lain berdiri sementara al-Junayd tetap saja diam. Aku berkata,
“Tuanku, tidakkah Anda mempunyai suatu pengalaman dalam penyimakan?’ Al-Junayd
menjawab : “Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka ia tetap ditempatnya,
padahal ia berjalan seperti jalannya awan.” (Qs. An-Naml :88). Lalu al-Junayd
pun bertanya. “Anda, wahai Abu Muhammad, tidakkah Anda berpengalaman juga dalam
penyimakan?’ Aku katakan : “Tuanku, ketika aku hadir di suatu temepat yang di
dalamnya sedang berlangsung penyimakan, tiba-tiba di sana ada orang-orang yang
bersenang-senang dengan rasa malu, mka aku mengekang diri dan wujd-ku. Ketika
aku menghindar, aku mengirimkan wujd-ku, lalu aku ber-tawajud,”
Kemudian kata
tawajud disebut dalam hikayat tersebut, sedangkan al-Junayd tidak
mengingkarinya.
Saya mendengar
Syeikh Abu Ali al-Daqqaq r.a. berkata : “Apabila manusia menjaga dtika
keutamaan sat dalam penyimimakan, Allah menjaga diri dan waktunya, karena
berkat etikanya.”
Sedangkan
ekstase ruhani (wujd) itu sendiri merupakan sesuatu yang bersesuaian dengan
hati Anda, yang datang tanpa kesengajaan ataupun diupayakan. Karena itu para
Syeikh mengatakan : “Wujd adalah persesuaian hati, sedangkan al-mawajid (jama’
al-wujd) merupakan bauh dari wirid. Setiap orang yanng bertambah upaya
ruhaninya, Allah pun akan menambah kelembutannya.”
Saya mendengar
Syeijh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Sesuatu yang sempit di dalam hati itu,
muncul dari sisi wirid. Siapa yang tidak wirid dengan lahiriahnya, maka tidak
wirid pula dalam sirr-nya. Setiap ada sesuatu di dalam diri pelaku al-wujd,
maka tidak dapat dikategorikan sebagai wujd. Seperti suatu al yang dilakukan
melalui muamalat lahriah akan menemukan manisnya ketaatan, dan apa yang mualamat
lahriah akan menemukan manisnya ketaatan, dan apa yang turun dalam btin hamba
seputar hukum-hukum batin, akan menemukan al-mawajid. Kemanisan adalah buah
dari mualamat, dan mawajid merupakan produk dari karunia yang turun”
Sedangkan
wujud, merupakan suatu kondisi setelah menapaki tahap wujd. Wujud Al-Haq tidak
dapat dicapai kecuali setelah memadamkan unsur manusiawinya. Karena
kemanusiawian tidak akan baqa’ ketika muncul kekuasaan Hakikat. Inilah arti
dari ucapan Husain an Nury, “Sejak dua puluh tahun aku berada antara Ada dan
tiada, yakni : Ketika kutemui Tuhanku, sirnalah hatiku, dan ketika kutemui
hatiku, aku kehilangan Tuhan-ku.”
Pernyataan ini
relevan pula dengan ucapan al-Junayd, “Ilmu Tauhid” merupakan wahana penjelasan
bagi wujud-nya, dan wujud-nya merupakan wahana bagi ilmunya.” Dalam konteks
artian ini, penyair berkata :
Wujud-ku ada
ketika aku gaib dari wujud
Karena yang
tmpak padaku
Dalah syuhud
(penyaksian).
Tawajud
merupakan permulaan, dan wujud adalah tujuan akhir. Sedangkan wujd sebagai
perantara antara permulaan dan tujuan akhir.
Saya mendengar
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Tawajud mengharuskan adanya kecelaan hamba.
Sedang wujd mengharuskan ketenggalaman hamba. Demikian pula wujud mengharuskan
kesirnaan mengarungi lautan itu, lantas tenggelam di dalamnya. Struktur
persoalan ini dikatakan secara berurutan, mulai dari : Qusyud (bermaksud),
wurud (sampai), kemudian Syuhud (penyaksian), lalu Wujud, terakhir Khumud
(sirna). Dengan kadar kriteria wujud-lah, khumud dapat dicapai.
Bagi orang yang
ber-wujud memiliki kesadaran (shahw) dan ketidaksadaran (mahw). Kondisi shahw
adalah kebadiannya dengan Al-Haq, sedang kondisi mahw-nya adalah kefana’annya
dengan Al-Haq. Keduanya saling berkelindan selamanya. Apabila shahw dengan
Al-Haq yang lebih unggul, ia telah sampai *wushul). Karena itu, Rasulullah saw.
Bersabda (hadis Qudsi), “Dengan-Ku ia mendengar dan dengan-Ku ia melihat.”
Manshur bin
Abdullah berkata : “Seseorang berada dalam halaqah asy-Syibly, dan orang itu
kemudian beretanya. “Apakah pengaruh keabsahan wujd itu tampak pada diri
orang-orang yang mencapai al-wujud? Benar. Cahaya yang memancar, bersama dengan
sinar kerinduan, sehingga pengaruhnya mewarnai lubuk hatinya.” Demikian jawab
asy-Syibly.”
Gambaran ini
jelas dalam syair Ibnul Mu’tazz :
Gelas yang
dibasai iar karena cemerlang beningnya,
Llau mutiara
tumbuh dari bumi emas,
Sedang kaum
menyucikan karena kagum
Pada cahaya air
di dalam api dari anggur yang ranum,
Diwarisi ‘Aad
dari negeri Iram
Sebagai
simpanan Kisra, mulai dari nenek moyangnya.
Suatu kisha
berkenaan dengan Abu Bakr ad-daqqy : “jahm ad-Duqqy mengambil kayu di tangannay
ketika sedang menyimak dalam gairahnya, kemudian ia mencabut dari akarnya.
Kemudian keduanya berkumpul ketika secara bersamaan saling memanggil. Ad.-Duqqy
sendiri sorang yang buta, lalu Jahm berdiri sambil berkeliling dengan penuh
emosi. Abu Bakr ad-Duqqy berkata : “Jika mendekat kepadaku, ulurkan kayu itu!’
Sementara Jahm ad- Duqqy adalah manusia lemah, lantas ia menemukan sepotong
kayu di dekatnya, seraya berkata, ‘Ini ia!’ Lalu ad-Duqqy memegang kaki Jahm,
hingga membuatnya tidak dapat bergerak lagi. “Wahai Syeikh, tobat! Tobat!”
teriak Jahm ad-Duqqy. Barulah kemudian Abu Bakr ad-Duqqy meelpaskannya.”
Semangat Jahm
benar, dan pengekangan ad-Duqqy juga benar. Ketika Jahm menyadari bahwa
tindakan ad-Duqqy di atas kondisi ruhaninya, seketika itu pun ia insaf dan
berdamai.
Begitu pula
orang yang tidak berbuat maksiat, ia benar. Namun demikian, apabila yang
mengalahkan dirinya adalah kesirnaan diri, maka ia tidak berilmu dan tidak pula
berakal, tidak paham serta tidak merasa.
Isteri Abu
Abdullah at-Targhundy berkata : “Ketika bencana kelaparan sedang melanda,
sementara manusia dijemput maut karena paceklik itu, tiba-tiba Abu Abdullah
at-Targhundy masuk ke dalam rumah. Ia melihat ada dua kilogram gandum.
Berkatalah ia, ‘Orang-orang mati karena kelaparan, sedang aku masih mempunyai
simpanan gandum di rumah.’ Lalu ia pun kehilangan akal. Dan sejak saat itu ia
tidak pernah bangkit, kecuali pada waktu-waktu shalat fardhu. Usai shalat
kembali pada tingkah laku semula, dan begitu seterusnya sampai ia meninggal
dunia.”
Kisah ini menunjukkan, bahwa
laki-laki tersebut selalu menjaga diri dalam adab syariat, ketika dilanda oleh
hukum-hukum hakikat. Demikian sifat ahli hakikat. Mengenai faktor penyebab
hilangnya akal pada dirinya, dikarenakan kepeduliannya (syafaqah) terhadap
nasib semua kaum Muslimin. Ini derajat yang lebih kuat dalam sikap perilakunya.
Siip
ReplyDelete