7. JAM’i DAN FARQi
Dua kata tersebut cukup populer di kalangan ahli tasawuf. Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Al-farq, suatu kondisi yang dihubungkan kepada diri sendiri, dan al-Jam’, berkaitan dengan hal yang menyirnakan diri sendiri. Artinya, Segala upaya hamba seperti menegakkan ubudiyah dan hal-hal yang layak dengan tingkah laku manusiawi, disebut al-Farq. Sementara jika datang dari arah Al-Haq (Allah swt.) seperti mucnulnya makna-makna dan datangnya kelembutan serta ihsan, maka disebut al-Jam’.
Dafinisi ini merupakan kondisi paling sederhana dalam konteks jam’ dan farq. Sebab, kondisi tersebut merupakan bagian dari penyaksian segala bentuk perbuatan. Siapa yang meneyaksikan dirinya di hadapan Al-Haq dalam perbuatan-perbuatannya seperti ketatan dan pegingkaran dirinya, maka hamba tersebut dideskripsikan dalam pemisahan (tafriqah). Sedangkan yang menyaksikan dirinya di hdapan Al-Haq melalui perbuatan yang didelegasikan dari Af’al Allah swt, maka sang hamba telah menyaskikan al-Jam’. Penetapan makhluk merupakan pintu tafriqah, dan penetapan al-Haq merupakan predikat al-jam’.
Bagi hamba, haruslah berkondisi jam’ dan farq. Sebab siapa yang tidak berposisi farq, ia tidak memiliki penghambaan (ubudiyah), dan siapa pun yang tidak berposisi jam’, ia tidak pernah ma’rifat kepada-Nya. Firman Allah swt. (Hanya Kepadamu Kami menyembah), merupakan isyarat terhadap al-farq. Sedangkan firman-Nya (dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolonan), merupakan isyarat al-jam’.
Apabila hamba berbicara kepada Tuhannya, melalui bahawa munajat, apakah memohon mendoa, memuji, bersyukur, menyucikan diri atau pun meminta, maka ia telah menempati tahap berpisah (tafriqah). Namun apabila ia telah terpesona melalui sirri-nya terhadap apa yang dimunajatkannya kepada Tuhan, kemudian mendengarkan melalui kalbunya apa yag telah dikatakan lewat munajat itu, hal-hal yang dimohonkan atau dimunajatkan kepada-Nya, atau pun yang dikenalkan oleh-Nya, maka makna-Nya, atau bahkan yang dihamparkan dalam hatinya dan di perlihatkan oleh-Nya, maka ia telah menyaksikan dalam al-jam’.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Aku menguraikan beberapa ucapan di sisi Ustadz Abu Sahl ash-Sha’luky r.a. (Engkau buat menjadi bersih pandanganku ke padamu’). Ketika itu Abul Qasim an- Nashr Abadzy hadir di sana. Lalu Ustadz Abu Sahl berkata : “(huruf ta’ dinashab’),. Maka Abu Nashr Abadzy, berkata : (Huruf ta’ didhammah’).”
Artinya, barangsiapa mengucapkan perkataan (“kujadikan”), berarti mengabarkan sikap perilakunya sendiri, seakan-akan sang hamba berkata, “ini”!. Jika ia berkata (“engkau jadikan”), seakan-akan mengatakan, bebas dari beban. Bahkan ia berkata kepada Tuhan-nya, “Engkau-lah yang mengkhususkan kepadaku dengan ini, bukan aku, melalui kemampuanku.” Yang pertama, berkaitan dengan bisikan do’a, dan yang ke dua, dengan sifat bebas dari upaya dan ikrar melalui keutamaan dan sariguna. Maka, bedakan antara orang yang mengatakan, “Melalui jerih payahku, aku menyembah-Mu,” dan ucapan orang : “Melalui keutamaan dan kelembutan-Mu, aku menyaksikan-Mu.”
Adapun jam’ul jam’i di atas semua itu. Manusia memiliki frekuensi masing-masign sesuai dengan manifestasi perilaku dan kepautan derajat mereka. Barang siapa menetapkan atas dirinya, berarti menetapkan kemakhlukan, namun menyaksikan keseluruhan, berarti ia telah mandiri kepada Yang Haq, dan inilah al-Jam’. Tetapi jika yang terlibas dari penyaksian terhadap kemakhlukan, lebur dari dirinya, dan teraih universalitas, dari segala hal yang tampak dan terdelegasi dari kekuasaan hakikat, maka tahap inilah yang disebut jam’ul jam’i.”
Tafriqah adalah penyaksian terhadsap makhluk, hanya untk Allah swt. Al-jam’ adalah penyaksian terhadap makhluk bersama Allah swt. Dan jam’ul jam’i, berarti sirna dengan univeraslitas, dan fana’-nya rasa kepada selain Allah swt. Ketika terlanda hakikat. Jam’ul jam’i merupakan kondisi mulia. Sebagian kaum menamakan tahap ini sebagai al-farq kedua. Yaitu dikembalikan pada tahap rasa pasca sirna, pada saat menjalani waktu-waktu fardhu, agar tetap konsisten terhadap kefarduan dengan segenap waktunya, sehingga ia kembali, hanya untuk dan bersama Allah swt, bukan bagi hamba bersama hamba. Sang hamba melihat dirinya pada kondisi seperti itu dalam perbuatan Al-Haq. Ia menyaksikan awal Zat-nya dan kenyataannya bersama Qudrat-Nya. Sedangkan tempat pijakan ketika menjalankan perbuatan dan tingkah lakunya hanya bersama Ilmu dan Kehendak-Nya.
Sebagian Sufi mengisyaratakan kata al-Jam’ dan al-farq kepada Perbuatan Al-Haq atas seluruh makhluk. Maka globalitas dari keseluruhan dalam proses bolak balik dan perbuatan, harus dilihat dari satu arah, bahwa sebenarnya Allah-lah yang memunculkan substansi-substansi mereka itu. Allah-lah yang menjalankan sifat-sifat mereka. Kamudian Allah swt. Memisahkan dalam ragam : Satu kelompok, Allah swt. Membahagiakan mereka, dan kelompok lain Allah swt. Menjauhkan dan menyengsarakan mereka. Satu kelompok lagi Allah swt. Menarik hati mereka, dan kelompok yang lain dilupakan dan diputus-asakan dari rahmat-Nya, dan satu golongan lagi Allah swt, memutus kehendak mereka untuk menyatakanDiri-Nya. Ada kelompok yang disadarkan pada tahap rasa mereka dan ada yang disirnakan. Ada kelompok yang didekatkan dan dihadirkan, Kemudian Allah meminumkan karunia hingga mereka dimabukkan ruhaninya, namun juga ada golongan yang dicelakakan dan diakhirkan, kemudian dijauhkan dan disingkirkan. Ragam Af’al-Nya tidak bisa dijangkau oleh batasan, sementara rinciannya tidak dapat diuraikan dan diingat. Para Sufi pernah melantunkan syair bagi al-Junayd, mengenai makna jama’ dan farq :
Engkau telah membuat nyata-Mu
Dalam rahasiaku
Lalu lisanku munajat pada-Mu
Kita berkumpul bagi makna-makna
Dan berbpisah bagi makna-makna pula
Jika Gaib-Mu adalah
Keagungan dari lintasan mataku
Toh Engkau buat keserasian dari dalam
Yang mendekatku.
Mereka bersyair lagi :
Jika telah tampak padaku
Keagungan, lalu keluar dalam tingkah orang
Yang tak dikehendaki
Maka aku berkumpul dan berpisah dengan-Nya
Sedang ketunggalan yang saling bertemu
Adalah dua dalam satu bilangan.
8. FANA’ DAN BAQo’
Sejumlah Sufi mengisyaratkan Fana’ pada gugurnya sifat-sifat tercela, sementara baqa’ diisyaratkan sebagai kejelasan sifat-sifat terpuji. Kalau pun seorang hamba tidak terlepas dari salah satu sifat tersebut , maka dapatlah dimaklumi, sebenarnya, salah satu bagian apabila tidak dijumpai dalam diri manusia, maka dapatlah ditemui sifat satunya lagi. Barangsiapa fana’ dari sifat-sifat tercela, maka yang tampak adalah sifat-sifat terpuji. Sebaliknya, jika yang mengalahkan adalah sifat-sifat yang hina, maka sifat-sifat yang terpuji akan tertutupi.
Perlu diketahui, bahwa predikat yang menjadi sifat hamba mengandung perbuatan, akhlak dan tingkahlaku. Perbuatan-perbuatan tersebut merupakan daya manusia melalui ikhtiarnya. Sedangkan akhlak merupakan pembawaan. Namun sifat itu berubah menurut konsistensi kebiasaannya. Sedangkan tingkah laku merupakan suatu perilaku yang dikembalikan kepada hamba dari segi permulaannya. Hanya saja, penjernihannya muncul setelah pembersihan amal. Seperti akhlak dalam satu segi. Demikian pula manakala sang hamba terus menerus membersihkan perbuatannya, melalui upaya yang telah diberikan kepadanya. Allah swt. Memberikan anugerah kepadanya melalui penjernihan tingkah laku, bahkan melalui penyempurnaan tingkah laku tersebut.
Siapa yang berupaya meninggalkan perbuatan kehinaan dengan bahasa syariat, maka ia telah fana’ dari syahwatnya. Jika telah fana’ dari syahwatnya, akan kekallah bangunan dirinya serta keikhlasan dalam ubudiyahnya. Sipa yang zuhud di dunia dengan hatinya, maka ia telah faa’ dari kesenangannya. Dan jika telah fana’ kesenangannaya, berarti telah kekal melalui kejujuran kembali dirinya. Barangsiapa menerapi (mengobati) akhlaknya dari penyakit kalbu seperti dengki, angkuh, bakhil, sangat bakhil, marah, sombong dan sebagainya dari kenakguhan nafsu, maka berarti telah fana’ dari kebejatan akhlak. Kalau sudah demikian, yang kekal dalam dirinya adalah ketidakpeduliannya kepada kepentingan pribadinya (futuwwah) dan kejujuran pada diri sendiri. Barangsiapa menyaksikan berlakunya qudrat dalam mekanisme hukum dan aturan, maka dapat dikatakan : Ia telah fana’ dari tanggungan perkara pertama dari makhluk. Jika ia fana’ dari pengaruh-pengaruh imaji makhluk, maka ia kekal bersama sifat-sifat Al-Haq. Dan siapa yang terlimpahi kerajaan hakikat, sehingga tiada sedikitpun yang disaksikan, baik alam kenyataan, pengaruh, rumus, atau penundaan, maka ia telah fana’ dari makhluk, dan abadi bersama Al-Haq. Ke-fana’-an hamba dari segala perbuatannya yang hina, dan tingkahlakunya yang buruk, telah menghilangkan perbuatan-perbuatan seperti itu. Ke-fana’-an mereka atas dirinya dari makhluk lainnya, dengan cara menghilangkan rasa untuk diri sendiri dan mereka. Kalau telah fana’ dari perbuatan, akhlak dan tingkah laku, maka subyek ke-fana’an dari semua itu tidak boleh di-maujud-kan.
Apabila dikatakan, “,Manusia benar-benar fana’ dari dirinya dan dari makhluk, maka dirinya maujud dan makhluk juga maujud, tetapi ia tidak tahu dirinya dan juga juga tidak mereka. Tidak ada rasa maupun berita. Maka dirinya ada, dan makhluk menjadi ada, berikutnya. Namun ia lupa dari dirinya maupun semua makhluk, sama sekali tidak merasakan adanya dirinya dan makhluk lainnya (karena keparipurnaan yang penuh dalam kesibukannya terhdap sessuatu yang lebih luhur dari semuanya.)”
Terkadang Anda melihat seseorang memasuki tempat penguasa atau orang yang kejam, lalu orang tersebut merendahkan diri atau merendah pada majelis di sana. Alangkah jauh jauh hati itu, juga dirinya, hingga tak mungkin untuk mengatakan sesuatu. Allah berfirman :
“Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan)nya, dan mereka melukai jari-jari tangannya.” (Qs. Yusuf 31).
Suatu gambaran ketika mereka sama sekali tidak menemukan rasa sakit ketika (pertama kali menyaksikan raut muka Yusuf a.s.). Mereka adalah wanita-wanita yang lemah, dan mereka berkata :
“Dan mereka berkata : “Maha Sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain, hanyalah malaikat yang mulia.” (Qs. Yusuf : 31).
Inilah kealpaan makhluk atas perilakunya sendiri ketika bertemu dengan sesamanya. Bagaimana menurut dugaan Anda dengan orang yang dibuka untuk menyaksikan Al-Haq? Kalaupun mereka lupa dari rasa dalam dirinya dan orang-orang sejenisnya, maka adakah lebih menakjubkan lagi ketimbang melihat-Nya?
Barangsiapa fana’ dari kebodohannya, yang kekal adalah ilmunya. Siapa yang fana’ dari kesenangannya, yang kekal adalah zuhudnya. Siapa yang fana’ dari angan-angannya, yang kekal adalah kehendaknya. Demikian juga seluruh konotasi kiprahnya. Apabila hamba fana’ dari sifatnya yang bisa diingat, kemudian menaiki tahap lebih tinggi dengan fana’nya dari melihat ke-fana’-an itu sendiri. (Inilah yang disebut Fana’u Fana’ ). Sebagaimana digambarkan penuyair :
Ada kaum yang tersesat di padang gersang
Aa pula yang tersesat di padang cintanya
Mereka fana’, kemudian fana’ lalu fana’
Lantas mereka kekal dengan kekal dari kedekatan Tuhan-nya.
Yang pertama adalah fana’ dari dirinya, fana’ dari sifatnya karena Baqa’-Nya Sifat-sifat Al-Haq. Kemudian fana’nya dari sifat-sifat Al-Haq karena penyaksiannya terhadap Al-Haq itu sendiri, kemudian fana’-nya dari melihat penyaksian fana’, melalui keleburan dirinya dalam Wujud Al-Haq.
9. GHAIBAH DAN HUDHUR
Ghaibah berarti kegaiban kalbu dari segala apa yang diketahui, berkaitan dengan apa yang berlaku pada tingkah laku makhluk, karena adanya faktor yang datang padanya, sehingga perasaannya tersibukkan oleh kegaiban yang tiba itu. Kemudian rasa itu, dengan sendirinya dan yang lainnya, menjadi gaib, karena faktor yang tiba, akibat mengingat pahala atau memikirkan ancaman siksa.
Diriwayatkan bahwa Rabi’ bin Haitsam pergi ke ruah Ibnu Mas’ud r.a. kemudian ia melewati kedai tukang pande (besi). Ia melihat bara yang menganga di perapian pande itu. Tiba-tiba ia pingsan (karena membayangkan akibat-akibat pelaku dosa yang dibakar api). Ketika siuman, ia ditanya. “Aku ingat bagaimana keadaan ahli neraka di neraka nanti.” Demikian katanya.
Diriwayatkan dari Ali bin al-Husain. Ketika ia sedang sujud, tiba-tiba terasa ada jilatan panas api yang tersulut di dalam rumahnya, dan ia sama sekali tidak bepaling dari shalatnya. Lantas ditanya tentang keadaannya yang demikian itu. “Aku tercengang oleh nyala api besar, lebih dari kobaran api itu.” Jawabnya.
Manakala ghaibah rasa yang muncul oleh faktor yang dibukakan Al-Haq seperti itu, maka derajat mereka berbeda-beda menurut tingkah laku kondisinya.
Kisah yang populer, bahwa awal mula perilaku Abu Hafs an-Naisabury al-Haddad meninggalkan pekerjaan di kedainya, yaitu ketika muncul seseorang yang membaca ayat Al-Qur’an. Lalu ia menjadi lupa dari rasanya karena adanya sesuatu yang datang menyelusup. Lalu ia menyusupkan tangannya pada bongkahan bara api, dan menariknya kembali sambil memegang bara api yang menganga (sama sekali tidak merasa panas). Muridnya, saat melihat kejadian itu pun berkata. “Wahai guru, apa ini? Seketika itu pula Abu Hafs memandang apa yang tampak padanya, lalu meninggalkan pekerjaannya dan segera pergi berlalu dari kedai.
Saya mendengar Abu Nashr, muadzin di Naisabur. Ia dikenal sebagai laki-laki saleh. Ia mengisahkan, “Aku sedang membaca Al-Qur’an di majelis Ustadz Abu Ali ad.Daqqaq di Naisabur. Dan Ustadz sendiri sedang membahas soal haji, sampai hatiku terpengaruh karenanya. Pada tahun ini pula aku pergi haji, dan meninggalkan kedai serta pekerjaan. Sementara Ustadz Abu Ali r.a. juga pergi menunaikan haji pada tahun yang sama. Ketika di Naisabur aku menjadi pelayannya dan ikut membaca Al-Qur’an di majelisnya. Suatu hari di desa, aku melihatnya sedang bersuci dan lupa akan kendil bawaannya. Aku pun membawanya. Sesampai di tempat tujuan kuletakkan di sisinya. Ia berkata, “Semoga Allah membalas kebaikan kepadamu, ketika kamu membawa ini.” Lalu ia menatapku dalam-dalam, seakan-akan itu sebagai tatapan terakhir. Tiba-tiba ia berkata, “Pernah sekali, aku bertemu denganmu, siapa kamu? Aku menjawab, “Aku adalah orang yang memohon pertolongan kepada Allah swt, aku menyertaimu sekedarnya, dan kutinggalkan hunianku, karenamu. Aku merasa teputus oleh kemenangan dan waktu, ketika engkau berkata, “Pernah sekali, aku beertemu denganmu...!”
Sedangkan Hudhur, bisa berarti, seseorang sebagai pihak yang hadir bersama Al-Haq. Sebab ketika ia ghaib dari makhluk, ia hadir bersama Al-Haq. Artinya, seakan-akan ia hadir, kaerna limpahan dzikir pada yang haq di dalam kalbunya, yang berarti ia hadir dengan kalbunya, di antara sisi Tuhannya. Dalam batas kegaibannya dari makhluk, maka kehadirannya dikategorikan bersama Al-Haq. Namun apabila ia gaib secara universal, maka kehdiran tersebut menurut kegaibannya. Manakala dikatakan “ Si Fulan hadir. Berarti, ia hadir dengan kalbunya untuk Tuhannya. Ia tidak lupa dari-Nya dan tidak pula alpa. Lalu ia mukasyafah dalam hudhur-nya menurut derajatnya, dengan segala makna yang dikhusukan oleh Al-Haq kepadanya.
Kadang-kadang hudhur dikatakan, karena kembalinya hamba pada dimensi rasa terhadap perilaku dirinya dan makhluk lainnya. Ia kembali pada kesadaran dari kegaibannya. Ini disebut hadir bersama makhluk. Yang pertama disebut hadir bersama Al-Haq, dan frekuensi kegaibannya beragam. Ada yang pendek gaibnya, adapula yang abadi.
Iriwayatkan bahwa Dzun Nuun mengutus salah seorang muridnya ke Abu Yazid al-Bisthamy, untuk menyampaikan pesan agar Abu Yazid mengubah sifatnya. Ketika murid Dzun Nuun telah sampai di daerah Bau Yazid, ia menanyakan rumah Abu Yazid, lalu ia pun menuju ke rumah yang dimaksud. “Apa maksud kedatanganmu?” tanya Abu Yazid. “Aku ingin menemui Abu Yazid.” Kata orang itu. “Siapa Abu Yazid? Di mana Abu Yazid? Aku juga sedang mencari Abu Yazid.” Kata Abu Yazid. Orang itu pun segera pergi berlalu sambil bergumam, “Laki-laki itu pasti gila!” Kemudian ia kembali pulang ke rumah Dzun Nuun, mengabarkan apa yang disaksikan. Tiba-tiba Dzun Nuun menangis, sambil berkata, “Saudaraku Abu Yazid benar-benar telah pergi bersama mereka yang pergi kepada Allah swt.”
No comments:
Post a Comment